Jakarta -
Whistleblower atau peniup peluit kasus-kasus korupsi masih
belum mendapatkan perlindungan maksimal. Salah satu kendalanya yakni ada
pada ranah penegak hukum.
"Faktor sumirnya ketentuan
perlindungan participant WB (whistleblower) dan pemahaman yang
terbatas dari penegak hukum telah mengakibatkan orang-orang yang
mengungkap kejahatan, yang seharusnya mendapatkan penghargaan namun pada
kenyataanya dijatuhi hukuman," kata anggota Satgas Pemberantasan Mafia
Hukum, Mas Achmad Santosa saat dihubungi detikcom,
Minggu (10/7/2011).
Pria yang akrab disapa Ota memberi contoh,
sejumlah whistleblower seperti Agus Condro, Vincentius Amien Sutanto,
ataupun Susno Duadji justru mendapatkan hukuman.
"Karena itu
kekosongan peraturan yang rinci dan jelas kelihatannya akan teratasi
dengan adanya Inpres 9/2011 tentang RAN Pemberantasan Korupsi tahun 2011
yang memuat program perlindungan participant whistle blower di bawah
program kejaksaan dan Kemenkumham," terangnya.
Selain Inpres
9/2011, dengan kebijakan Mahkamah Agung terkait program pencegahan mafia
hukum, juga telah mencanangkan atau merencanakan penerbitan Surat
Edaran MA (SEMA) untuk mengefektifkan Pasal 10 UU 13/2006.
"Diharapkan
SEMA ini akan memperjelas peran hakim dalam memberikan perlindungan
pelaku yang bekerja sama ini," jelasnya.
Tambah lagi, ke depannya
ada komitmen Menkum HAM yang akan menjadikan Revisi UU 13/2006 dengan
mendetilkan perlindungan hukum bagi whistleblower dalam Prolegnas 2012.
"Tentu
ini perlu kita berikan penghargaan yang tinggi," tuturnya.
Whistleblower
di Indonesia memang masih membutuhkan kebijakan yang jelas tentang
perlindungan hukum dan penghargaan bagi participant whistleblower.
"Untuk
lebih mengefektifkan pengungkapan kejahatan terorganisir termasuk mafia
hukum dan korupsi. Selama ini kebijakan tersebut terlalu sumir dan umum
yang diatur dalam UU 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Pelapor," urainya.
Sumber: detikNews
0 komentar:
Posting Komentar