Tidak semua laki-laki sebagai pelaku kekerasan,
walaupun faktanya, laki-laki merupakan pelaku dominan kekerasan
terhadap perempuan.
Laki-laki memiliki peranan penting dalam penghapusan
kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki bukan musuh. Laki-laki
hendaknya dijadikan partner yang bertanggungjawab untuk terkondisinya
keadilan gender.
Kasus Kekerasan
Terhadap Perempuan
Di Indonesia,
tahun 2010, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) menyatakan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mencapai
sekitar 100 ribu kasus dan terdapat 3.530 kasus kekerasan terhadap
perempuan di ruang publik seperti pemerkosaan, pencabulan dan pelecehan
seksual. Disebutkan, 96 % dari total kasus kekerasan terhadap perempuan
terjadi dalam rumah tangga.
Di Sumatera
Utara, catatan akhir tahun Perempuan Sumatera Utara 2010 menyatakan,
jumlah perempuan korban kekerasan berbasis gender (KBG) masih tinggi.
Data Januari-Oktober 2010, dari total 85 kasus yang ditangani, 69%
merupakan KDRT, lebih setengahnya kekerasan psikis, kemudian kekerasan
fisik, kekerasan seksual dan pencabulan terhadap anak dan perempuan
dewasa.
Di Aceh, data Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A), tahun 2006 hingga 2010, kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat. Tahun 2006 sebanyak 19
kasus dan tahun 2010 tercatat 188 kasus, didominasi KDRT seperti
pemerkosaan, pemukulan, pencabulan dan pelecahan seksual.
Pihak-pihak tersebut mengakui, jumlah kasus yang
dilaporkan maupun diberitakan media massa merupakan fenomena gunung es,
banyak kasus tidak dilaporkan dengan berbagai alasan, dari pilihan dan
keterpaksaan korban, keluarga, lingkungan atau "sistem" di lokasi
tersebut.
Komnas Perempuan menyatakan,
relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki serta
perangkat hukum yang belum maksimal melindungi perempuan dari
kekerasan, diantara faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap
perempuan. Selain itu, para pejabat publik belum memiliki perspektif
gender yang baik. Kapasitas penyelenggara negara memberikan layanan
kepada perempuan korban tindak kekerasan juga sangat mengkhawatirkan.
Perangkat sarana dan prasarana untuk memastikan korban mendapatkan
keadilan tidak tercapai seperti diamanahkan undang-undang.
Di Sumatera Utara dan Aceh, ekonomi disebutkan sebagai
faktor penting. Pernikahan dini juga berkontribusi menyebabkan
terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Lalu, di Sumatera Utara, APBD
juga dianggap belum sensitif gender dan tidak pro rakyat miskin,
sementara arena pengambilan keputusan sangat lemah dalam perspektif
gender.
Kekerasan Juga Masalah
Laki-laki
Kekerasan bukan masalah
perempuan semata. Beberapa penelitian mengenai KDRT kurun 25 tahun
menunjukkan laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan untuk menjadi
pelaku maupun korban kekerasan. Prof. Murray Straurs menyatakan
beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan mungkin, atau lebih mungkin,
melakukan kekerasan terhadap laki-laki. Satu penelitian menemukan, 36%
dari korban KDRT adalah laki-laki. Selain itu, laki-laki lebih
cenderung untuk tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami, dan
biasanya polisi lebih mungkin untuk menangkap laki-laki dibandingkan
perempuan dalam kasus domestik. Selama ini kampanye penghapusan KDRT
lebih difokuskan kepada perempuan sehingga mereka lebih sadar akan
masalah ini sebagai kejahatan, atau terbangunnya opini; pelaku KDRT
laki-laki. Bagi laki-laki, kasus yang "tidak mungkin" dilaporkan ini
menimbulkan beban psikologis tambahan. (www. vortxweb.net/gorgias/mens_
issues).
Peneliti Inggris, Anna Randle,
PsyD, yang meringkas berbagai penelitian mengenai efek KDRT pada
laki-laki dua dekade terakhir menyatakan, walaupun sebagian besar KDRT
yang dilaporkan dilakukan laki-laki terhadap perempuan tapi penting
untuk memperhatikan prevalensi kekerasan terhadap laki-laki terutama
dari aspek psikologis. Menurutnya, laki-laki yang disalahgunakan oleh
mitra perempuan mereka dapat menderita trauma psikologis signifikan,
seperti gangguan stress pasca-trauma, depresi dan pikiran untuk bunuh
diri.
Di Jerman, satu penelitian untuk
melihat spektrum kekerasan interpersonal terhadap laki-laki (Ludger
Jungnitz, dan kawan-kawan: 2004 dalam www. bmfsfj.de), menemukan
variasi kekerasan yang dialami sejak anak-anak, remaja hingga dewasa
yang terjadi di lingkungan, lingkungan kerja dan kehidupan sehari-hari,
walaupun pria yang diwawancarai ada mengaku bahwa hal tersebut tidak
dianggap sebagai kekerasan, seperti tindakan kekerasan fisik di depan
umum dianggap sebagai perselisihan biasa.
Di
Indonesia, konstruksi tidak adil gender dan konsep maskulinitas dalam
budaya patriarkhi bukan hanya berdampak terhadap perempuan, tetapi juga
kepada laki-laki. Harapan, didikan hingga paksaan agar seorang
laki-laki kuat, gagah, berani, tidak cengeng, tidak menangis, mandiri
dan lain-lain merupakan beban tersendiri bagi laki-laki sejak dari
kecil dan hal tersebut sangat mempengaruhi tumbuh-kembang dan kehidupan
mereka sehari-hari hingga dewasa. Anak laki-laki tidak boleh menangis,
kalau menangis namanya cengeng. Anak laki-laki harus kuat dan berani,
kalau tidak kuat dan berani bukan laki-laki, dan seterusnya.
Kendati setiap orang memiliki mekanisme pertahanan diri
namun konstruksi dan reproduksi demikian, beberapa penelitian
menemukan, banyak merasa tegang, cemas, kewalahan, terancam, terhina,
diremehkan, merasa ditinggalkan, ditolak atau kehilangan harga diri.
Penggagas the new psychology of men menyatakan, banyak laki-laki
mengalami trauma keterpisahan dini, kendati pada saat lain laki-laki
diberikan previledge dalam rangka pengembangan identitas laki-laki yang
dikontruksi tersebut. Bagi anak perempuan, tidak jarang peran
sosialnya dimarginalkan agar menjadi perempuan yang diharapkan.
Laki-laki Sebagai Mitra
Tahun 2007, konferensi dengan tema Men as Partners to
End Violence Against Women yang dilaksanakan UNIFEM dan Ministry of
Social Development and Human Security Thailand mengakui; laki-laki
bukan saja pelaku, tetapi korban kekerasan, sehingga laki-laki
hendaknya tidak dijadikan musuh, melainkan sebagai mitra dan sahabat
untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Sebelumnya, tahun 1999, Jurnal Perempuan, telah menggagas inisiatif
keterlibatan laki-laki dalam menegakkan keadilan gender melalui
Deklarasi Cowok Cowok Anti Kekerasan. Secara nasional, tahun 2009,
beberapa LSM di Indonesia telah menggagas Aliansi Laki-laki Baru untuk
melibatkan laki-laki dalam mencapai keadilan gender.
Di Aceh aliansi ini mulai digagas sejak 2009. Aliansi
ini, dikatakan Nur Hasyim, dari Rifka Annisa, pada seminar Aliansi
Laki-Laki Baru (ALLB) Aceh, 26 April 2011, merupakan gerakan
challenging asumsi tentang arti menjadi laki-laki yang selama ini
diyakini laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya patriarkhis
yang memberikan previllage dan kekuasaan yang berpotensi mendominasi
dan mendiskriminasi perempuan. Gerakan ini akan mentransformasi konsep
menjadi laki-laki yang tidak lagi dilandasi oleh dominasi akan tetapi
berbagi tanggungjawab, saling menghargai dan cinta kasih.
Menurut Dian Mariana, dari Yayasan Pulih, gerakan ini
sekaligus akan mengontrol anggotanya untuk tidak menjadi pelaku
kekerasan terhadap perempuan. Anggota yang aktif akan berfikir 100 kali
untuk melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Efeknya, forum
ini bisa menjadi contoh bagi laki-laki lain sehingga secara signifikan
akan turut menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan.
Keterlibatan laki-laki bukan bermakna untuk membajak dan
mereduksi peran perempuan yang telah berlangsung selama ini, akan
tetapi bagian dari gerakan perempuan untuk keadilan gender. Selama ini,
masih ada anggapan upaya pemenuhan hak-hak maupun penghapusan segala
bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan agenda perempuan
saja. Pada pihak lain muncul asumsi, gerakan tersebut sebagai upaya
perempuan mereduksi peran dan fungsi laki-laki yang dipahami oleh
laki-laki. Gerakan ini akan merubah cara pandang terhadap laki-laki
sebagai pelaku kekerasan, menjadi laki-laki sebagai sahabat untuk
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Dengan demikian, keterlibatan laki-laki dalam
penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian penyelesaian
masalah pada perempuan dan laki-laki itu sendiri, dari aspek primer,
sekunder dan tersier. Laki-laki harus dibebaskan dari perannya selama
ini sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki juga
memiliki peran untuk mensosialisasikan kepada rekannya sesama
laki-laki.***
0 komentar:
Posting Komentar