Halaman

Rabu, 12 Oktober 2011

Atjeh Negeri seribu satu hikayat

"Negeri Seribu Satu Hikayat"



Jika negeri belahan Asia Barat sana ada yang menda­pat julukan sebagai “Negeri Seribu Satu Malam”, kami menilai Aceh sebagai negeri seribu satu hikayat. Gelar ini kami berikan untuk Aceh dengan tanpa menafikan ge­lar-gelar lainnya seperti Serambi Makkah, Tanah Rencong, Negeri Iskandar Muda, Negeri Syariat Islam, Daerah Mod­al, atau julukan lainnya.

Gelar “Seribu Satu Hikayat” kami berikan karena Aceh memang banyak menyimpan kisah lama, baik suka, duka, luka, nestapa, sengsara, air mata, canda, tawa, atau kisah bahagia akan kejayaan Is­kandar Muda yang selalu dikenang sepanjang zaman. Kisah-kisah itu, di Aceh bukan lagi men­jadi sebuah dongeng, tapi dianggap sebagai hikayat. Karenanya, kami menyebut Aceh “Negeri Seribu Satu Hikayat”.
Naskah Hikayat
Secara sederhana, hi­kayat adalah cerita yang diyakini kejadiannya pada suatu masa, yang diceritakan kembali pada masa selan­jutnya. Karena itu, hikayat dapat berupa legenda, syair, seja­rah dan sejenisnya. Namun, belakan­gan istilah hi­kayat semakin populer digunakan pada setiap kisah yang juga berupa dongeng—sulit dibuktikan kebenarannya. Ang­gapan dongeng atau cerita fiksi lainnya dianggap oleh si penulis sebagai hikayat, barangkali berdasarkan ketaja­man dan kelantangan penyampaian ujaran bertuturnya. Ini adalah era kemajuan sastra dalam berkontemplasi, maka terhadap sebuah cerpen pun, si pengarang suka menyebut karyanya dengan “hikayat”.

Terlepas dari beragam warna hikayat itu, di Aceh, pada zaman dahulu, hikayat juga dijadikan sebagai senjata melawan kaphé peunjajah. Salah satu hikayat yang dikenal mampu menggelora­kan semangat juang bangsa dan masyarakat Aceh kala itu adalah Hikayat Prang Kompeni atau Hikayat Prang Sabi. Hikayat ini diciptakan oleh Tgk. Chik Pante Kulu alias Abdul Karim yang kemudian populer dengan sebu­tan “Do Karim”.

Dalam Hikayat Prang Kompeni disebutkan bahwa setiap yang mati dalam perang melawan kaphé mendapat pahala syahid dan bidadari syurga me­nanti orang-orang yang syahid tersebut. Kemu­dian, karena melawan penjajah demi memper­tahankan wilayah dan bangsa juga disebut­kan mendapat pahala syahid, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun menggelorakan Hi­kayat Prang Kompeni dalam melawan pemerintahan Republik Indonesia dengan menyatakan mati melawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polisi adalah juga mati syahid. Demikian seba­liknya, aparat keamanan RI pun beranggapan akan mati syahid jika terbunuh oleh GAM/TNA. Alasannya serupa, yakni sama-sama membela bangsa dan tanah air. Maka, Aceh adalah negeri seribu satu hikayat.

tuhoe 6 asoe nanggroe Adnan PMTOH (gemasastrin.wordpress.com)
(Alm)Tgk. H. Adnan PMTOH
Di samping Hikayat Prang Sabi, Aceh juga memiliki beberepa hikayat lainnya yang juga mendapat tempat di hati masyarakat. Hikayat-hikayat itu antara lain Hikayat Malem Diwa, Hikayat Putroe Bungsu, Hikayat Dangderia. Hikayat-hikayat ini sangat panjang. Untuk menghabis­kan cerita dalam hikayat-hikayat tersebut bisa memakan waktu tujuh hari tujuh malam, bahkan ada yang sampai tujuh belas malam, sebab cerita di dalamnya sambung menyambung, berepisode-episode.

Selain hikayat-hikayat yang disebutkan di atas, dalam masyarakat Aceh dikenal juga hikayat PMTOH. Hikayat ini dipopulerkan oleh Tgk. H. Adnan. Beliau dilahirkan di Meukek, Aceh Selatan, Desember 1931. Adapun nama PMTOH bukanlah judul hikayat sebagaimana nama-nama hikayat di atas. PMTOH merupakan salah satu jenis irama hikayat. Penamaan PMTOH diambil dari nama sebuah mobil bus penumpang lintas Sumatera, yang memiliki corong klakson di kiri kanan bagian depan mobil.

Mobil PMTOH sering digunakan Tgk. Adnan berkeliling saat membawakan hikayat-hikayatnya. Saat bermain, dia suka membunyikan klakson mobil PMTOH sambil me­mencet hidungnya. Karena itulah, gelar PMTOH akhirnya disematkan kepadanya hingga jadilah namanya Tgk. H. Adnan PMTOH.

Kata Tgk. Adnan, dia berguru hikayat kepada seorang le­laki tua di Manggeng, Kabupaten Aceh Selatan (sekarang masuk wilayah Aceh Barat Daya). “Namanya Mak Lapeh. Saya belajar kepadanya selama tiga tahun,” kata Adnan semasa masih hidupnya, seperti divisualkan dalam film “Pujangga Tanpa Pikir” karya Teuku Afifuddin.

Kelihaian Adnan dalam membawakan hikayat cepat dan lekas serupa air mengalir membuat ia mendapat gelar “Trobadur”. Putra Panglima Polem itu menghembuskan napas terakhir di usianya yang ke 75 (Selasa, 4 Juli 2006). Setelah kepergian beliau, kesenian tutur pun terkesan hilang dari Aceh. Dulu, Adnan acapkali tampil di depan masyarakat—di usia tua, dia main di TVRI. Hal ini mem­buat hikayat Aceh semakin populer ke dunia luar. Dia terus menyampaikan hikayat-hikayat ke sekeliling Aceh, bahkan ke luar Aceh. Sungguh Aceh dikenal sebagai neg­eri penuh hikayat. Namun, sekarang keresahanlah yang diterima Aceh manakala tukang hikayat legendarisnya su­dah tiada. Akankah Aceh masih akan menjadi negeri hikayat?

jkma-aceh.org


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More