Penjara, Rumah Tahanan (Rutan) atau Lembaga Pemasyarakatan (LP)
adalah sebuah jejak-jejak panjang nan penuh liku. Hal ini terkait dengan
sejarah berdirinya negara tercinta ini, yang memiliki masa-masa pahit
tatkala Belanda dan Jepang menancapkan cakar tajamnya di masa
penjajahan. Masa demi masa terlewati, mengukir catatan demi catatan.
Masing-masing masa memiliki sejarahnya tersendiri.
Seperti Apa Penjara Masa Kolonial Belanda?
A. Periode Kerja Paksa
Periode pidana kerja paksa di Indonesia
berlangsung sejak pertengahan abad ke-XIX atau tepatnya mulai tahun 1872
hingga 1905. Ditandai dengan dua jenis hukum pidana; pertama, hukum
pidana khusus untuk orang Indonesia ;dan yang kedua, pidana khusus untuk
orang Eropa.
Bagi orang Indonesia dan golongan Timur Asing berlaku Kitab
Undang-undang Hukum Pidana khusus, yakni “Wetboek van Strafrecht voor de
Inlanders in Nederlandsch Indie”, artinya Kitab Undang-undang Hukum
Pidana untuk orang pribumi di Hindia Belanda. Pada saat itu orang
Indonesia disebut dengan “Inlanders”.
Pada periode ini pidana kerja merupakan bentuk pemindanaan yang
seringkali dijatuhkan pada “ inlanders”. Lama pidana kerja sangat
bervariasi bisa seumur hidup, atau minimal satu hari. Sedangkan pidana
kerja terbagi menjadi dua, yakni kerja paksa (dwang arbeid) dan
dipekerjakan (ter arbeid stellen). Kerja paksa yang lamanya lebih dari
lima tahun dilakukan dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting), yang
di bawah lima tahun tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de ketting).
Sedangkan yang satu tahun ke bawah disebut dengan istilah “dipekerjakan”
(ter arbeid stellen), dan yang di bawah tiga bulan disebut “krakal”.
Pidana kerja paksa baik dengan rantai maupun
tidak, dilaksanakan diluar daerah tempat diputuskannya perkara, juga di
luar daerah asal terpidana. Hukuman yang juga disebut dengan
“pembuangan” (verbanning), dimaksudkan untuk memberatkan terpidana,
dijauhkan dari sanak saudara serta kampung halaman. Bagi orang Indonesia
yang cenderung memiliki sifat kekerabatan dan persaudaraan, tentu saja
hal ini dirasa sangat memberatkan. Terpidana menjalani kerja paksa
diluar daerah, dengan bekerja pada proyek-proyek besar, seperti; tambang
batu bara di Sawah Lunto (Umbilin), proyek pembuatan jalan di Sumatera
Tengah, Tapanuli, Aceh, Sulawesi, Bali/Kintamani, Ambon, Timor, dan
lain-lain.
Selain itu para terpidana juga bekerja sebagai pemikul perbekalan
dan peluru saat Perang Aceh, dan di tempat-tempat lain di luar Jawa.
Tujuan utama dari hukuman pada periode tahun 1872-1905 ini adalah
menciptakan rasa takut (afschrikking) dan mengasingkan terpidana dari
masyarakat. Meskipun pada waktu itu berlaku “Reglement op de Orde en
Tucht” (Staatsblad 1871 no. 78) yang berisi tata tertib terpidana, namun
semuanya praktis tidak dijalankan. Para terpidana tidak mendapatkan
perlakuan yang layak sebagaimana mestinya.
Akibatnya, kondisi kesehatan para terpidana
sangat menyedihkan bahkan hampir setiap hari terjadi usaha pelarian.
Penegakan hukum pada masa kekuasaan Hindia Belanda ini bersifat
menyeluruh hingga ke lapisan masyarakat paling bawah.
B. Periode Kolonial Belanda
Sejak tahun 1905 mulai dibuat penjara sentral wilayah (gewestelijke
centralen) bagi terpidana kerja paksa, agar terpidana kerja paksa dapat
melakukan beserta jajarannya. Tercatat sebagai Kepala Urusan Kepenjaraan
yang pertama adalah Gebels seorang sarjana hukum yang berjasa dalam
membuat gebrakan-gebrakan baru dalam hal kepenjaraan.
Pada masa ini sudah mulai diberlakukan sistem kamar bersama, yang
bagi ahli penologi (ilmu kepenjaraan) sistem ini punya andil dalam
menyuburkan terjadinya penularan kejahatan sehingga muncul istilah
“school of crime” (sekolah kejahatan). Akibat lain adalah munculnya
hukum rimba, siapa yang paling kuat, dia yang berkuasa.
Dan
bukan rahasia lagi bila si jagoan ini melakukan aktifitas homoseksual
terhadap mereka yang lebih lemah. Sepanjang hari, di dalam tembok
setinggi empat setengah meter, para terpidana melakukan kerja paksa yang
dikoordinasi layaknya seorang pekerja dalam sebuah perusahaan.
Pekerjaan dilengkapi dengan seperangkat mesin, yang dikenal dengan
istilah “perusahaan besar” (groote bedrijven/groot ambachtswerk).
Sementara di tempat lain di luar penjara pusat, terpidana dalam tempat
hukumannya di dalam lingkungan tembok di pusat penampungan.
Kebijakan baru ini terlaksana di bawah pimpinan Kepala Urusan
Kepenjaraan (Hoofd van het Gevangeniswezen) tempat penampungan
dipekerjakan dalam lingkup “perusahaan kecil” (klein ambachtwerk).
Masa kolonial juga mencatat sebuah peristiwa yang terbilang kejam,
kejadiannya menimpa seorang pemberontak Indonesia yang sudah menjadi
incaran pemerintah kolonial. Suatu hari pemberontak ini tertangkap dan
sebagai “shock therapy” bagi pemberontak lain, ia diberi hukuman yang
tak berperikemanusiaan. Keempat anggota badannya (tangan dan kaki)
masing-masing diikatkan pada kuda lalu ditarik oleh kuda tersebut dengan
arah berlawanan. Anggota tubuh si pemberontak tercerai berai, peristiwa
ini terkenal dengan peristiwa pecah kulit. Saat ini tempat peristiwa
tersebut dijadikan nama jalan di Jakarta-Kota.
Periode ini ditandai dengan lahirnya cikal
bakal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dimulai pada masa ini,
yakni dengan lahirnya “Wetboek van strafrecht voor Nederlansch Indie”
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk Hindia-Belanda). Ketentuan ini
ditetapkan dengan Koninklijk Besluit pada tanggal 15 Oktober 1915 no.
33, dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Salah satu isi dari
perundang- undangan ini adalah dihapuskannya istilah “pidana kerja”
menjadi “pidana hilang kemerdekaan”.
Dengan adanya “Wetboek van strafrecht voor Nederlansch-Indie” ini
maka tiada lagi perbedaan perlakuan antara orang Indonesia dan Timur
Asing dengan orang-orang Eropa. Selang tiga tahun sesudah 1 Januari
1918, terjadi perubahan-perubahan mencolok dalam sistem kepenjaraan.
gbr26.jpgSalah satunya adalah dihapuskannya sistem “Gewestelijke
centralen”, dan diganti dengan sistem “Strafgevangenissen” (penjara
sebagai sarana pelaksanaan pidana). Perubahan ini terjadi di bawah
pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia-Belanda, ijmans yang tercatat
sebagai pembawa angin segar dalam sejarah perkembangan urusan
kepenjaraan Hindia-Belanda.
Salah satu gebrakan yang dilakukan oleh Hijmans adalah catatannya
yang panjang lebar tentang perbaikan urusan kepenjaraan tertanggal 10
September 1921 kepada Direktur Justisi. Pria enerjik ini mengutarakan
pandangannya tentang pandangan-pandangannya di bidang kepenjaraan, yang
pada pokoknya berupaya untuk melakukan reformasi bagi terpidana.
Perhatian terutama ditujukan kepada anak-anak terpidana dan klasifikasi
terpidana dewasa. Menurutnya, sedikit kesempatan bagi terpidana untuk
memperbaiki moral di dalam lingkungan pusat penampungan wilayah,
sebaliknya “school of crime” akan memunculkan penjahat-panjahat baru,
yang justru kian menjerumuskan terpidana menuju jurang kehancuran.
Di bawah kepemimpinan Hijmans pula, Kepenjaraan Hindia-Belanda
untuk pertama kali mengirimkan wakilnya ke Konggres Internasional
Penitentiar kesembilan di London, pada Agustus 1925. Selain itu tiap
tahun memberi sumbangan berupa uang sebanyak 500 Rupiah kepada
sekretariat untuk anggaran pengeluaran negara dan urusan kepenjaraan.
Baru saja dimulai suatu keteraturan, suasana sontak berubah manakala
terjadi pemberontakan besar-besaran dari bangsa Indonesia terhadap
pemerintah penjajahan Belanda, pada bulan November 1926. Belanda
menyebutnya sebagai “pemberontakan komunis”. Blok bagian tahanan orang
komunis di Penjara Cipinang sesudah Tahun 1926Banyak putra Indonesia
ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, sehingga urusan kepenjaraan
dihadapkan pada kondisi “overcrowding” (kepenuhan penjara). Hal ini
menjadi sandungan bagi Hijmans yang tengah mencoba mengembangkan mutu
kepenjaraan.
Suasana penjara menjadi tidak kondusif, sering terjadi huru-hara,
sebut saja di Cipinang pada bulan Juli 1926, di mana para tahanan
politik menyanyikan lagu kepahlawanan diikuti gerakan mogok makan.
Beberapa penjara pun berubah fungsi menjadi tempat penampungan tahanan
politik, misalnya penjara Pamekasan dan Ambarawa yang semula
diperuntukkan bagi anak-anak, berubah fungsi untuk menampung tahanan
politik. Demikian pula penjara Cipinang, Glodok, Boyolali, Solo, serta
penjara kecil seperti di Banten, Madiun, dan lain-lain. Bahkan, khusus
bagi tahanan politik didirikan penjara besi di Nusakambangan. Satu
catatan lagi, satu hal yang sering terjadi adalah penyerangan terhadap
pegawai-pegawai penjara.
Kejadian lain yang mewarnai sejarah kepenjaraan di tanah air
adalah penyerbuan terhadap rumah penjara Glodok pada 12 November 1926,
sehingga mendorong didirikannya menara penjagaan untuk mengantisipasi
terjadinya penyerangan. Inilah sejarah didirikannya menara penjagaan.
Rentetan kejadian ini menjadi kendala besar bagi sistem kepenjaraan
yang sesungguhnya tengah dirintis. Benang merah dari segala kejadian
ini adalah menyiratkan betapa sulitnya posisi atau peran urusan
kepenjaraan, yang dihadapkan pada dua kepentingan, seolah kepenjaraan
akan selalu dihadapkan pada momentum yang sifatnya antagonistic antara
harus berperikemanusiaan atau sebaliknya.
Tentang kondisi ini, John Conrad seorang ahli penologi akhir abad
ke-20 menyebutnya sebagai “irrational equilibrium”, suatu kondisi yang
“uneasy compromise”.
Menjelang masuknya pendudukan Jepang ke Indonesia, penjagaan di
penjara-penjara, yang semula dipegang oleh militer diganti oleh tenaga
pegawai kepenjaraan sipil. Pada periode ini tercatat beberapa peristiwa
penting, antara lain;
1. Tahun 1921, penjara Madiun menyediakan tempat untuk anak-anak
di bawah usia 19 tahun
2. Tahun 1925, didirikan penjara untuk anak-anak di bawah umur 20
tahun di Tanah Tinggi, dekat Tangerang. Serta didirikannya penjara untuk
terpidana seumur hidup di Muntok dan Sragen.
3. Tahun 1927, di Pamekasan dan Ambarawa didirikan penjara anak-anak.
Pada masa ini penjara-penjara memiliki kedudukan khusus:
* Penjara Sukamiskin untuk orang Eropa dan kalangan inetelktual
* Penjara Cipinang untuk terpidana kelas Satu
* Penjara Glodok untuk pidana psychopalen
* Penjara Sragen untuk pidana kelas satu (pidana seumur hidup)
* Penjara anak-anak di Tangerang
* Penjara anak-anak di Banyu Biru dan Ambarawa
* Penjara khas wanita di Bulu Tangerang
Penjara Bantjeuj menjadi saksi salah satu sejarah besar, penjara
yang terletak di tengah kota Bandung ini pada akhir tahun 1929 pernah
dihuni oleh Presiden Pertama RI, Soekarno, bersama tiga orang PNI
(Partai Nasional Indonesia) yang lain. Sel penjara yang ditempati
Soekarno adalah sel nomor 5 di blok F, berupa ruangan seluas 2,5 x 1,5
meter, yang di dalamnya terdapat satu tempat tidur lipat dan sebuah
toilet non-permanen. Satu-satunya penghubung dengan dunia luar adalah
sebuah lubang kecil di pintu besi.
Pada Mei 1930, Pengadilan Negeri memutuskan untuk memindahkan
Soekarno, dkk ke penjara Sukamiskin, 15 kilometer dari Bandung. Kali ini
Soekarno menempati sel nomor 233, berukuran 2 x 3 meter. Waktu masuk
penghuninya dicukur gundul dan diberi pakaian penjara yang terbuat dari
kain katun kasar. Hanya dua minggu sekali, sang istri, Inggit Ganarsih
diperbolehkan menjenguk.
sumber : www.ditjenpas.go.id
0 komentar:
Posting Komentar