Halaman

Rabu, 12 Oktober 2011

Saatnya Rakyat Atjeh Menjadi Raja


Suatu hari saya ditanya "siapakah yang paling berhak menjadi raja atau yang sekarang disebut sebagai Wali Nanggroe Aceh?" Sebelum saya berhasil menjawab karena masih harus mengingat referensi sejarah Aceh seorang kawan tiba-tiba menjawab: "kini, semua rakyat Acehlah yang pantas diposisikan sebagai raja!"


Cukup lama kami terdiam. Orang yang bertanya tidak lagi mengajukan pertanyaan lanjutannya. Saya pun tidak berusaha untuk meluruskan jawaban sang teman. Argumentasi sejarah yang tadinya sudah terkumpul dalam peta pikiran, langsung kacau. Beberapa saat saya kembali berusaha menata ulang struktur ingatan sejarah, minimal yang pernah saya baca.

Hasilnya aneh, saya justru tidak berusaha mengingat siapa dari keturunan raja atau keluarga yang paling berhak menjadi "pemilik" Aceh.

Saya justru dengan sangat mantap membenarkan penegasan sang kawan: "kini, semua rakyat Acehlah yang pantas diposisikan sebagai raja!"

***

Setidaknya, sejak akhir abad ke-14 M (1496) hingga awal abad ke-19 M (1903) Aceh pernah memposisikan seketurunan aneuk nanggroe sebagai raja (baca: mereka yang berdaulat). Tidak bisa dipungkiri, ditangan kaum monarki itu Aceh pernah mengalami masa-masa indah dalam membangun hingga mencapai kejayaannya pada abad ke-18 M. Itu artinya, sejak Sultan Ali Mughayat Syah hingga masa Sultan Iskandar Tsani.

Sebaliknya, tidak bisa pula menutup mata kalau ditangan orang-orang atau keturunan terpilih itu Aceh juga pernah mundur hingga pada titik paling kritis. Itu artinya terhitung sejak masa Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam memerintah (1641) hingga masa Sultan Muhammad Daud Syah (1903). Meski begitu, pada masa ini pula sejarah kepemimpinan Aceh mendapat penghargaan karena pernah menempatkan perempuan sebagai pemimpin tertinggi (1641-1699).

Aceh juga pernah memposisikan aneuk nanggroe lainnya dari keluarga pejuang fisabilillah untuk mengendalikan Aceh, setidaknya dalam dua periode paling mendebarkan yakni periode perlawanan besi (1874 - 1911) dan periode perlawanan api (1976 - 2005).

Meski tidak bisa mencapai kemajuan secara ekonomi akibat perang namun harus diakui kalau Aceh menjadi pihak yang meraih kemenangan moral dan harga diri karena tidak takluk dihadapan penjajah. Pada masa "perlawanan besi" itulah, Belanda menjadi pihak yang tidak pernah tenang dalam menjalankan roda pemerintahan kolonialisnya.

Sebaliknya, sejak periode "perlawanan api" dijalankan usaha Aceh membangun dalam rumah besar Indonesia menjadi terganggu karena harus berhadapan dengan rezim pemerintahan otoriter Indonesia. Akibatnya, berbagai tragedi kemanusiaan pun terjadi yang hingga kini belum mendapat perhatian secara keadilan maupun kebenaran. Dalam hitungan banyak pihak terbaca bahwa angka kerugian akibat konflik Aceh mencapai 107,4 triliun (10,7 miliar dollar AS). Meski begitu, tsunami pada akhirnya berhasil memadamkan "perlawanan api" dan melalui MoU Helsinki berhasil menghadir iklim demokrasi lokal yang lebih sehat serta "peace deviden" yang fantastis hingga 2027.

Pertanyaannya, untuk siapakah iklim demokrasi lokal dan seluruh "peace deviden" yang diperoleh itu? Untuk mereka yang dulu sudah pernah berjasa membawa Aceh mencapai kegemilangannyakah? Atau, untuk mereka yang sudah berhasil menjaga harga diri kedaulatan bangsa Aceh? Atau, semua itu untuk segenap rakyat Aceh?

Saya sangat yakin, jika seluruh penerus keluarga raja ditanya apakah jasa masa lalu harus dibayar dengan materi atau dengan jabatan mereka dengan tanpa jeda akan menjawab "itu masa yang indah, gagah, sekaligus juga sulit dan rumit. Sekarang, pasti lebih indah jika kita simpan Aceh sebagai tanah warisan dalam buku sejarah masa lalu dan menjadikan Aceh kini sebagai tanah harapan, tempat semua rakyat Aceh meraih mimpi masa depan yang lebih baik."

Sebaliknya, jika hal yang sama ditanya kepada famili di tiro mereka pasti akan menjawab dengan tegas: "sekalipun matahari kalian letakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku tidak akan kami tukar perjuangan fisabilillah ini dengan harta dan tahta."

Karena itu sudah sangat tepat jika rakyatlah sebagai pemilik dan pemegang kadaulatan tertinggi atas Aceh. Dan sebagai pemilik kedaulatan sudah sepantasnya jika segenap "peace deviden" yang diperoleh Aceh diperuntukkan bagi menjalankan program-program pembangunan untuk memastikan rakyat bisa memperoleh standar hidup berkelas seorang raja.

Tahun ini (2011), iklim demokrasi lokal akan menggelar Pilkada kedua paska damai. Seluruh rakyat sebagai pemilik kedaulatan akan diuji apakah akan memilih Kepala Pemerintahan Aceh yang akan memperkuat iklim demokrasi lokal dan akan mengelola "peace deviden" untuk menghadirkan standar hidup berkualitas raja bagi rakyat. Atau, sebaliknya akan kembali salah pileh (pilih) yakni memilih kepala pemerintahan Aceh yang siap bersekutu dengan mereka yang ingin menyerahkan kedaulatan rakyat kepada seseorang yang selanjutnya menjadi pemilik seluruh sumber daya Aceh termasuk "peace deviden" yang diperoleh Aceh dari hasil perjanjian damai.

Kita tunggu saja, apakah nasehat Snock Hugronye yang dulu pernah dipakai oleh pemerintahan otoriter Indonesia akan juga dipakai oleh orang Aceh sendiri? Semoga saja tidak berlaku hadih madja yang dulu kerap di alamatkan kepada Indonesia: "musoh ta let peurangui ta cok."

note: jgan lupa kunjungin jg E, Punyak kwan saya jga ehheeh. . .
http://jambocinta.blogspot.com/
***
www.acehinstitute.org

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More