Halaman

Rabu, 12 Oktober 2011

Pemaafan Koruptor dan Purifikasi Korupsi

Di bulan ramadhan lalu, rakyat Aceh disuguhkan drama pengadilan dua tersangka kasus bobolnya deposito 220 Miliar milik Pemkab Aceh Utara dengan tersangka bupati dan wakil bupati Aceh Utara. Kasus ini termasuk lambat diproses dikarenakan tersangka lainnya sudah terlebih dahulu divonis oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Bupati dan wakil bupati Aceh Utara oleh sebagian aktivis anti-korupsi Aceh sudah diusulkan untuk dinonaktifkan sementara menunggu proses hukum yang sedang berjalan demi efektivitas pemerintahan, tapi hingga hari ini belum terealisasi. Sementara proses hukum masih berjalan, bupati dan wakil bupati Aceh Utara masing-masing juga telah mendaftarkan diri untuk maju menjadi orang nomor satu di Aceh Utara melalui pemilihan kepala daerah yang direncanakan akan digelar di tahun 2011 ini.


Sementara itu, di Aceh Timur, mantan bupati yang terlibat kasus korupsi, Azman Usmanuddin, yang baru saja berakhir masa hukumannya langsung menerima ribuan fotokopi kartu tanda penduduk pendukungnya yang ingin dirinya maju kembali ke kursi kepemimpinan Aceh Timur periode ke depannya. Jauh sebelumnya, mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh yang terlibat kasus korupsi dan sempat mendekam di Lapas Sukamiskin Bandung telah bebas bersyarat pada 18 November 2009. Abdullah Puteh yang pada April 2005 lalu dinyatakan terbukti bersalah, hanya menjalani masa hukuman empat tahun sebelas bulan dari vonis sepuluh tahun kurungan penjara. Abdullah Puteh seharusnya bebas murni Maret 2013 nanti setelah dipotong remisi selama 2 tahun 5 hari (www.indosiar.com). Bebas bersyarat Abdullah Puteh disambut sukacita dan dirayakan dengan perayaan besar di salah satu pesantren di Ulee Kareng, Banda Aceh.
Rakyat Aceh sudah sejak lama telah menerapkan ide yang sempat heboh beberapa waktu lalu saat Ketua DPR RI Marzuki Alie mengusulkan untuk ide pemaafan koruptor. Hanya di Aceh lah koruptor yang baru saja lepas dari penjara dapat langsung mendapatkan ribuan fotokopi KTP penduduk untuk mendukungnya untuk naik ke tampuk kekuasaannya lagi dan disambut dengan sukacita saat bebas. Hanya di Aceh!
Purifikasi Korupsi
Bulan Ramadhan telah berakhir dan ditutup dengan Idul Fitri, hari dimana manusia seolah-olah akan terlahir kembali layaknya seorang bayi yang suci. Ramadhan dianggap sebagai sebuah proses purifikasi atau penyucian diri melalui ibadah puasa dan ibadah-ibadah lain yang disunatkan untuk dilaksanakan dengan ganjaran yang berlipat ganda dari Yang Maha Kuasa.
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia secara lengkap. Tidak ada satupun aspek dalam kehidupan manusia yang tidak diatur dalam Islam, termasuk korupsi. Korupsi diharamkan dalam Islam. Bashry dalam Hasan (2009:36), menyebutkan “Dalam literatur Islam tidak terdapat istilah yang sepadan dengan korupsi, namun korupsi dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal (ma’shiyat), dalam konteks risywah(suap), saraqah (pencurian), al-ghasysy (penipuan), dan khiyanah(pengkhianatan).” Alquran menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil (tidak sah dan tidak etis), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” (QS An-Nisa:29).  Lebih lanjut juga ditegaskan dalam Alquran, “Barang siapa yang melakukan hal itu (memakan harta secara tidak sah) dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami (Allah swt) akan memasukkannya ke dalam neraka” (QS An-Nisa:30).
Daerah Aceh sebagai sebuah daerah syariat Islam juga tidak luput dari perilaku korup dan bahkan pernah menjadi daerah dengan tingkat korupsi tertinggi. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Abdul  Malik Gismar dalam artikelnya di harian Kompas (18/3/2011) menuliskan bagaimana saat seorang temannya pernah bertanya mengapa orang Islam tidak jijik terhadap korupsi sebagaimana mereka jijik terhadap daging babi, padahal korupsi juga haram hukumnya. Mengikuti diskursus korupsi, suatu tindakan yang secara obyektif jelas korupsi bisa dianggap pelakunya sebagai haram, setengah haram, bahkan halal. Semua orang tahu bahwa korupsi berarti curang dan melakukannya akan menimbulkan rasa bersalah.
Gismar menambahkan bahwa nalar manusia yang sangat elastis (lentur) dan akomodatif, melalui berbagai mekanisme budaya dan psikologis, akan menemukan justifikasi atau pembenaran untuk menghilangkan segala hal yang menimbulkan rasa bersalah. Semakin kompleks persoalan, semakin terbuka lebar justifikasi rasional yang dapat digunakan.
Hal ini juga selaras dengan jawaban ilmu akuntansi tentang mengapa korupsi atau fraud terjadi yang dijelaskan oleh 3 faktor yang dikenal dengan segitiga kecurangan (fraud triangle) yaitu tekanan yang dirasakan, kesempatan, dan rasionalisasi (Soedibyo, 2009). Orang-orang memilih untuk korupsi karena adanya tekanan, misal kebutuhan keuangan; kesempatan yang ada, misal posisi/jabatan tertentu; dan rasionalisasi seperti saya telah bekerja lama, saya telah banyak memberi pada organisasi atau negara, saya hanya mengambil sedikit, orang lain juga korupsi,  dsb. Ditambah faktor eksternal seperti ringannya hukuman yang akan diterima jikapun nantinya dia dihukum dan hartanya sedikit yang disita. Seperti yang tampak saat ini, koruptor bisa mendapatkan remisi dan bisa bebas bersyarat.
Gismar menuliskan bahwa salah satu mekanisme kultural-psikologis yang sangat kuat menjadi pembenaran dilakukannya korupsi adalah ritual purifikasi atau penyucian. Ketika seorang aparat menerima uang rokok, uang lelah, uang terima kasih, dan sebagainya, biasanya ia akan bertanya, “Ini ikhlas, kan?” Kata ikhlas menjadi mantra purifikasi (penyucian) dalam transaksi ini sehingga suap, korupsi, dan segala bentuk lain menjadi halal. Inilah mekanisme kultural-psikologis yang berada di balik paradoks kesalehan sosial versus korupsi: korupsi tetap tinggi meskipun kesalehan sosial juga tinggi. Dan hal ini lah yang wujud di Aceh, orang terus shalat dan ibadah, tapi korupsi juga jalan terus!
Puasa ramadhan telah selesai, kita tentu saja tidak mengharapkan angka kasus korupsi khususnya di Aceh juga semakin tinggi pascalebaran. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat dalam artikelnya di majalah Garuda edisi Agustus 2011, “Dengan menghayati dan menjalani ibadah puasa, seseorang mestinya senantiasa menyebarkan vibrasi kebaikan, kejujuran, kedamaian, dan kenyamanan kepada siapa saja di sekitarnya. Jadi sungguh ironis kalau sebuah bangsa yang rajin berpuasa ternyata masih senang melakukan korupsi dan tengkar.” Tambahnya “Tentu aneh jika setiap puasa mesjid-mesjid selalu meriah, namun berbagai tindak korupsi dan penyimpangan sosial masih kerap terjadi.

oleh:
http://acehinstitute.org

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More